13 Januari 2009

Resiko Ekonomi-Politik 2009

Risiko Ekonomi-Politik 2009
Senin, 12 Januari 2009 | 00:39 WIB
Yang diharapkan orang kecil dan orang biasa adalah bisa tidur nyenyak dan makan kenyang, kata seorang kerabat di kampung kepada saya beberapa pekan lalu।
Ini tentu bukan hendak menyederhanakan persoalan atau terlampau terpaku pada teori hierarki kebutuhan yang disampaikan Maslow. Namun, kutipan itu mampu menjadi panduan menyusun prioritas kebijakan, terutama terkait kelompok yang kerap diabaikan, yaitu kaum miskin dan kelompok marjinal lain.
Tahun 2009 boleh jadi lebih baik, atau tak lebih buruk, dibandingkan 2008. Namun, tahun 2009 adalah tahun penuh risiko ekonomi-politik dan kaum miskin—dengan ragam karakteristiknya— ada pada posisi rentan. Definisi kaum miskin dalam konteks ini lebih tepat menggunakan kriteria Bank Dunia, berpenghasilan di bawah 2 dollar AS per kapita per hari, dan kini jumlahnya sekitar 100 juta orang. Definisi ini lebih mampu menangkap ”kerentanan” dibandingkan garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS), di mana kaum miskin berjumlah 35 juta-39 juta.
Risiko ekonomi
Secara umum, kecenderungan ekonomi dunia yang serba tak pasti dalam jangka panjang (National Intellegence Council, 2008) membuat kaum miskin betul-betul terekspos terhadap risiko ekonomi. Harga bahan bakar minyak (BBM), misalnya, sempat mencapai kisaran 140 dollar AS dan kini di kisaran 40 dollar AS. Dengan subsidi BBM lebih dari Rp 126 triliun atau sedikitnya 12 persen APBN 2008, kaum miskin masih menanggung kenaikan harga BBM—dan turunan inflasi—yang menjatuhkan daya beli.
Harga dan ketersediaan pangan juga kian ditentukan pasar internasional, membuat besarnya risiko kaum miskin, baik sebagai petani kecil maupun konsumen. Risiko terbesar disebabkan fluktuasi kebutuhan industri makanan dan persaingan dengan kebutuhan bahan bakar nabati (BBN). Secara tak langsung, produksi BBN juga menimbulkan persaingan lahan dengan produksi pangan (Cotula, Dyer, dan Vermeulen, 2008).
Pada tahun 2009, risiko ekonomi secara spesifik berupa dampak krisis global yang diikuti resesi beberapa negara maju. Ini berarti, permintaan dan harga di berbagai industri bakal menurun, beberapa menghantam jutaan kaum miskin. Pertama, buruh industri manufaktur berbasis ekspor. Kedua, buruh industri pertambangan. Ketiga, petani kecil produsen komoditas ekspor seperti kelapa sawit dan karet. Keempat, imbas tiga hal itu, rontoknya sektor informal dan usaha mikro, kecil, dan menengah akibat jatuhnya daya beli kaum miskin sebagai konsumen utama.
Daya respons kaum miskin terhadap risiko akibat shocks itu praktis amat lemah. Itu sebabnya, asumsi neoliberal bahwa setiap shocks akan bisa diatasi ”penyesuaian” dan ”pergeseran” berdasarkan pilihan rasional sering tak cocok guna menjelaskan penghidupan kaum miskin karena beberapa faktor.
Pertama, kepemilikan aset, modal, dan tabungan kaum miskin amat rendah. Petani di negara berkembang, misalnya, kebanyakan memiliki lahan sempit (World Development Report, 2008). Kedua, rendahnya pendidikan yang berdampak rendahnya kemampuan menyerap informasi dan merespons risiko ekonomi. Ketiga, bertemunya dua hal itu, melemahnya modal sosial, dan belum matangnya kelembagaan formal dalam menghadapi kemiskinan di tengah krisis ekonomi.
Penurunan harga—setidaknya inflasi yang lebih rendah—banyak disebut akan ”menguntungkan” kaum miskin pada tahun 2009. Hal ini dimulai dengan dua kali penurunan harga BBM pada akhir 2008.
Namun, kaum miskin kadang harus membayar harga lebih tinggi dibandingkan kelompok nonmiskin yang disebut ”biaya kemiskinan” (Prahalad, 2008). Ini, misalnya, terjadi dalam akses air bersih. Dalam soal BBM, penurunan harga langsung dinikmati pemilik kendaraan pribadi. Sejauh ini, transmisi kepada penurunan ongkos angkut dan transportasi serta harga bahan pokok belum tampak.
Risiko politik
Risiko politik 2009 ditimbulkan pemilihan umum (pemilu). Risiko ini membuat respons terhadap krisis ekonomi jauh dari optimal. Pertama, pemerintah sulit membuat kebijakan yang relatif fundamental dan sinergi kebijakan dengan pemerintah provinsi/kabupaten/ kota, terutama jika berbeda kepentingan politik. Kedua, pelaku usaha bersikap wait and see untuk memperoleh kepastian mengenai keberlanjutan kebijakan, terutama peraturan yang lebih rendah dari undang-undang (UU).
Namun, pemilu juga membuat pengambil kebijakan lebih peka mengatasi dampak jangka pendek krisis ekonomi—terutama melalui subsidi langsung dan proyek infrastruktur— karena kuatnya tekanan pemilih maupun kompetitor politik. Di sini pemilih akan menunjukkan rasionalitasnya dalam pilihan politik, seperti temuan hasil analisis terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2009).
Para pemangku kepentingan setidaknya harus menempuh langkah berikut. Pertama, memastikan kebijakan jangka pendek pada tahun 2009 berjalan optimal. Untuk itu, kebijakan dan menteri yang melaksanakan harus ”menjaga jarak” dengan dinamika politik.
Kedua, untuk jangka menengah dan panjang, Pemilu 2009 harus dijadikan wahana untuk perbaikan kebijakan. Mengingat masih lemahnya pengorganisasian kaum miskin, dukungan dari cendekiawan, aktivis, kampus, dan organisasi masyarakat sipil merupakan hal wajib, baik untuk advokasi, penyediaan informasi yang sederhana, maupun membangun sistem yang memberi insentif bagi pengambil kebijakan untuk prokaum miskin. [Tata Mustasya Analis Ekonomi-Politik dan Kebijakan Publik].
------
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat!

Best Regards,
BinsarSilalahi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar